Pengertian dan Sejarah Ilmu Kalam
SEJARAH AWAL TEOLOGI ISLAM
Menurut William Ockham, Teologi adalah Disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.[2]
Menurut Ibnu Kaldun, Teologi adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
1. Persoalan Politik
Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat nabi setelah melihat tindakan Usman ini mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Perasaan tidak senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti adanya lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah ini membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir ini.
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[3]
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali mendesak tentara Mu’awiya sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-‘As dari pihak MU’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.[4]
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu idak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka.[5]
Mereka memandang Ali telah berbuat salah , oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dan Khawarij.karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafatia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi diantara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahsa arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunanikedalam bahsa Arab,terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggidalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan pemakaian rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpunkaum Mu’tazilah banyak mempergnakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir.[6]
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Katena telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.[7]
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal..politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah diocap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah.[8]
Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiahyang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kauimintelegensia islam yang mendapat pendidikan Barat.
[1] Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal. 14
[2] Ibid
[3] Harun Nasution. Sejarah Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2006. Hal.6
[4] Ibid. hal.7
[5] Ibid. hal. 8
[6] Ibid. hal. 9
[7] Ibid.
[8] Ibid.hal. 10
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/sejarah-awal-teologi-islampengertian.html
1.1 PENGERTIAN TEOLOGI
Menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology adalah Pemikiran tentang ketuhanan.[1]
Menurut William Ockham, Teologi adalah Disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.[2]
Menurut Ibnu Kaldun, Teologi adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
1.2 SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
1. Persoalan Politik
Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat nabi setelah melihat tindakan Usman ini mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Perasaan tidak senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti adanya lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah ini membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir ini.
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[3]
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali mendesak tentara Mu’awiya sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-‘As dari pihak MU’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.[4]
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu idak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka.[5]
Mereka memandang Ali telah berbuat salah , oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dan Khawarij.karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafatia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi diantara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahsa arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunanikedalam bahsa Arab,terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggidalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan pemakaian rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpunkaum Mu’tazilah banyak mempergnakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir.[6]
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Katena telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.[7]
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal..politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah diocap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah.[8]
Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiahyang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kauimintelegensia islam yang mendapat pendidikan Barat.
[1] Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal. 14
[2] Ibid
[3] Harun Nasution. Sejarah Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2006. Hal.6
[4] Ibid. hal.7
[5] Ibid. hal. 8
[6] Ibid. hal. 9
[7] Ibid.
[8] Ibid.hal. 10
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/sejarah-awal-teologi-islampengertian.html
Comments
Post a Comment